RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 01 Oktober 2013

Selera Humor Orang Indonesia


Dalam lawak, tidak lucu jika lakon terbahak-bahak dalam pentas. Lebih tak lucu bila pemeran marah-marah di atas panggung. Sialnya, Indonesia adalah dagelan gagal tersebut.

“Negara ini gila!” komentar Mahfudz MD mengenai Indonesia di salah satu acara televisi. Mantan ketua MK yang digadang-gadangkan menjadi presiden 2014 ini terutama mengeluhkan sistem birokrasi dan ketumpulan hukum menyikapi kongkalikong kepentingan para priyayi.

Jika Pak Mahfudz mendasari pendapatnya atas analisa, dan membawa serta solusi konkret, lain lagi dengan kebanyakan masyarakat awam. Orang-orang kalangan menengah ke bawah (secara intelektual) sudah terjangkit virus kehilangan kepercayaan terhadap negara mereka sendiri.

Sebenarnya sikap tak acuh orang Indonesia dapat dimengerti. Selain masalah kenegaraan yang tak pernah usai mendera, rakyat dibuat jenuh dengan polah para politisi. Setiap hari rakyat disuguhi debat kusir mereka yang mengatasnamakan para wakil. Buruknya, kebanyakan politisi tak mengerti tata cara diskusi dan debat yang baik dan benar. Akibatnya, silat lidah hanya digunakan untuk membela kepentingan golongan. Bukan kepentingan rakyat, apalagi kebenaran. Kejenuhan terhadap sikap politisi tersebut membuat rakyat tak acuh lagi terhadap kehidupan politik.

Sikap tak acuh rakyat dikuatkan hasil survei. Dari jejak pendapat yang dilakukan IPI (Indikator Survei Indonesia), 67 persen responden menyatakan tidak tertarik dengan hal yang berkaitan dengan politik. Survei ini melibatkan 2290 responden (sumber merdeka.com).

Apatisme macam ini juga dapat ditelisik dari percakapan masyarakat tingkat grassroot maupun di forum-forum dunia maya. Dalam obrolan ringan warung kopi misalnya, rakyat sudah tak segan lagi sinis terhadap nasib bangsa sendiri. Di forum-forum internet, masyarakat justru berlomba-lomba menertawai kemalangan mereka.

Barangkali, asal mulanya pesimisme negatif itu adalah guyonan satire. Masyarakat lelah menghadapi pelbagai cobaan yang datang tak henti terhadap negri ini. Bencana demi bencana melanda, KKN menggurita, utang negara membengkak, hukum tak mempan menebang orang besar, dan lain sebagainya. Semua kenyataan itu sudah cukup untuk menggetarkan ketahanan mental masyarakat. Akhirnya, saking bosannya dengan musibah, rakyat memilih menghibur diri dengan menertawakan kesengsaraan.

Tapi, entah karena kurang terdidiknya masyarakat Indonesia, atau karena keluguan psikologis yang sudah tertanam kuat -negri ini dijajah lebih dari 350 tahun- humor itu malah jadi hiburan. Hiburan menjadi pentas. Pentas menjadi lomba. Dan anehnya, lomba mengolok-olok diri sendiri malah digandrungi.

Masyarakat Indonesia lupa (atau benar-benar tidak tahu?) bahwa tujuan utama lelucon satire bukan untuk mengocok perut, namun untuk membangunkan kesadaran instingtif yang kadang tak bisa dibangkitkan dengan ajakan-ajakan serius. Kita melalaikan fungsi membangun dari guyonan cerdas itu. Satir adalah seni melucu kaum intelek, sayangnya, di tangan masyarakat Indonesia, ia menjadi lawakan murahan.

Di saat masyarakat luas menikmati parade mengejek diri sendiri, kita punya presiden dengan selera humor mengkhawatirkan. Tak seperti rakyat yang terjebak dalam sisi lucu satire, presiden malah terjangkit penyakit sulit ketawa. Saat segelintir demonstran menyindir kelambanan Pak SBY dengan menuntun seekor kerbau, dia justru marah-marah tak karuan. Yang aneh, perilaku sang presiden selanjutnya tetap mengerbau. Malas, lamban dan tak tegas. Saya hampir lupa kalau beliau adalah purnawirawan militer. Jika kerbau berleha-leha dengan memamah rumput sembari menikmati lenguhan sumbangnya sendiri, bapak yang satu ini terlalu banyak bersantai mendengarkan lagu ciptaan pribadi. Yang lebih menggelitik, SBY berhasil menciptakan empat album selama periode pemerintahannya. Produktifitas ini bahkan melangkahi karya penyanyi profesional dalam tempo yang sama.

Hemat saya, dua sikap di atas adalah sikap keliru dalam menyikapi masalah. Kita tak boleh terlalu serius menanggapi ironi, justru dengan menyediakan selera tertawa kita tergelitik, kita dapat dengan arif menerima pesan yang dimaksud. Ironi, kata Gunawan Muhammad, membuka pintu kepada kearifan. Atau, seperti kata Anatole France, ironi adalah keriangan reflektif dan sukacita yang bijaksana.

Jangan pula kita tertawa terpingkal-pingkal menanggapi ironi. Ia bukan pentas lawak yang bertujuan mengocok perut, namun, seperti saya sebutkan di atas, dalam rangka membangunkan kesadaran alami yang tertidur. Guru mengaji saya pernah bilang, terlalu banyak tertawa akan mematikan perasaan. Saya pikir betul juga. Secara kasar saja, tertawa berlebihan membuat perut sakit, mata terpejam, dan pendengaran berkurang. Dalam keadaan demikian, kita akan kehilangan kontrol terhadap apapun di sekeliling.


Barangkali, bangsa Indonesia belum cukup berbudaya untuk menyikapi ihwal-ihwal cerdas. Tapi sebenarnya, masalahnya sederhana. Kita hanya perlu selera humor yang lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar