RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 30 Oktober 2013

Identitas

Mahabharata menuturkan satu cerita tragis tapi tak epik. Karna, seorang yang tak punya identitas jelas, mati dalam perang tanding melawan seorang Ksatria Pandawa, Arjuna. Tragis karena tepat sebelum tewas, Karna tahu ia akan kalah. Bukan epik karena kematian Karna tak diratapi kasta mana pun.

Karna adalah bayi yang tak tahu datang dari mana, hanyut di sungai dalam peti dengan hanya berselimut kain. Tapi Begawan Bargawa merasa Karna telah menipunya ketika berguru kepadanya. Karna dianggap telah berdusta karena tak mengaku bagian dari kasta Ksatria -yang oleh brahmana satu ini dianggap perlu dimusnahkan. Walhasil, ia menolak memberikan secara utuh ajian sakti yang jika diberikan dapat menyelamatkan nyawa Karna.

Cerita di atas mengingatkan saya, bahwa identitas dapat menjadi antagonis. Suatu identitas, pada suatu ketika dapat melampaui fungsi defensifnya, sebagai pembentuk kesadaran untuk bekerja sama. Ia dapat menjelma menjadi sangat beringas, bahkan kejam. Karna adalah contoh fiktif, tapi realitanya dapat ditemukan di mana-mana.

Ihwal ini terkadang membuat saya khawatir. Terutama karena di era globalisasi ini, di saat banyak identitas tergoncang dan berevolusi, segelintir orang masih saja mencoba mengangkuhkan “kita.” Kita adalah definisi yang berbeda dari “yang lain.” Kita tidak menerima yang lain. Yang lain harus dilebur, dan jika tidak, harus diringkus. ”Tiap kesadaran,” kata Hegel, ”memburu kematian yang-lain.”

Saya khawatir karena saya adalah satu dari sedikit orang seperti Karna. Saya adalah orang Jawa yang tidak dianggap Jawa karena lahir di Sumatra dan tidak bisa Kromo Inggil. Tapi orang-orang kampung pun menganggap saya orang asing karena saya besar di perantauan. Lagipula, logat saya terdengar beda.

Barangkali perasaan saya ini sesuai dengan yang dirasakan Putu Wijaya. Putu lahir di Bali, tapi ia kuliah di Yogya dan hidup di Jakarta. “Dibandingkan dengan orang-orang Bali lain,” kata Putu, “Saya seperti sebuah disket yang sudah terkontaminasi dan salah format. Bentuk saya sudah acak-acakan.”

Dalam cerpennya, Bali, Putu mengutarakan kegelisahannya tentang identitas. “Bali adalah sebuah konsep. Tidak bali juga sebuah konsep. Dan konsep-konsep itu berubah. Mungkin karena zamannya berubah, atau karena apresiasi kita yang bergerak?” Ya, identitas tentang siapa kita adalah produk budaya. Dan benda-benda budaya, kata Sapardi Djoko Damono, bisa saja tidak –atau belum- selesai dibangun.


Orang Bali sekarang mungkin tidak lagi bisa menari, tidak bisa menabuh, tidak bisa melukis atau membuat patung. Orang Jawa sekarang mungkin sudah tidak pakai blangkon dan tidak bisa kromo inggil. Orang Betawi barangkali sudah tak lagi mengarak ondel-ondel. Bagi saya itu semua tak masalah. Yang jadi masalah adalah apabila di masa ketika identitas-identitas berevolusi, pemikiran segelintir orang masih terpaku pada mengangkuhkan identitas-identitas primordial.

0 komentar:

Posting Komentar