RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Selasa, 12 November 2013

Bapak dan Keniscayaan Menjadi Bapak

Hari ini hari Ayah, karena itu dan perihal lain, saya merasa memiliki kewajiban moral untuk menulis tentang Bapak.

Saya tak pernah punya relasi yang terlalu hangat dengan Bapak. Sejak kecil, saya lebih nyaman dekat dengan Ibu. Waktu kanak-kanak, saya terbiasa terbirit-birit lari ke arah ibu saat rona muka Bapak mulai terlihat naik pitam. Bersembunyi di belakang Ibu sambil memeluk kakinya adalah pertahanan terbaik kala itu. Selanjutnya, ibu pasti membela saya dan saya pasti akan selamat.

Saya juga lebih suka berpergian ke sekolah tempat Ibu mengajar daripada ikut Bapak menyusuri kebun. Saya baru mau bersama Bapak bila diajak naik motor ke kota. Kendati demikian, di perjalanan, saya lebih suka menatap semak di sisi-sisi jalan sembari berkhayal daripada ngobrol dengan Bapak. Saat beranjak remaja hingga dewasa, meski tidak lagi lari terbirit-birit, saya masih menggunakan Ibu sebagai tameng. “Sudah boleh sama Ibu ko, Pak,” sering sekali saya ngeles begitu.

Jika kalian ingin tahu bagaimana Bapak, mungkin karakter Ayah dalam film Laskar Pelangi sedikit memberikan gambaran. Tentu saja tak sama persis. Bapak juga pendiam, tak banyak bicara. Tapi hubungan saya dan Bapak tak semesra Ikal dan Ayahnya.

Bapak orangnya lugas dan spontan. Tidak seperti saya, Bapak tidak suka puisi atau membaca cerita –saya tak pernah melihatnya membaca buku cerita-, barangkali karena itu ia tak suka basa-basi. Bapak menyatakan ketidaksetujuan dengan tegas, bahkan terkesan keras. Belakangan ini saya menyadari bahwa karakter saya yang terkadang meledak-ledak persis dengan tabiat Bapak.

Demikianlah hubungan saya dan Bapak. Tapi saya tak hendak menyalahkan Bapak atas baik-buruk dinamika keluarga kami. Saya mengerti, sikap dan cara asuh yang ia terapkan adalah hasil dari pengalaman pribadi Bapak dengan orang tua serta usahanya memberikan sintesa atas pengalaman tersebut. Faktanya, manusia kerap menerapkan tolak ukur pribadi untuk orang lain.

Bagaimanapun, dialektika sikap bapak dan anak jugalah yang membentuk saya hingga menjadi seperti saat ini. Tanpa Bapak, saya tak mungkin mendapatkan akses wawasan-wawasan kontemporer. Bapak mungkin hanya membawakan saya oleh-oleh majalah Bobo dan Bola setiap pulang dari Kota. Tapi dari dua majalah tersebut, saya dapat mengaktualisasikan pengetahuan-pengetahuan lama yang saya dapat dari perpustakaan sekolah Ibu.

Lebih dari itu, sikap mengalah Bapak dalam menentukan keputusan-keputusan penting dalam hidup saya –Bapak selalu mengiyakan lobi Ibu dalam kasus-kasus saya, seperti kuliah di mana, dll- juga fundamental. Tanpa semua itu, barangkali jalan hidup saya bukanlah apa yang saya tapak hari ini. Bapak memang keras, tapi beliau juga orang yang paling membebaskan anak-anaknya menentukan jalan hidup sendiri.

Belakangan, saya menyadari, diantara sikap Bapak, banyak sekali yang merupakan keniscayaan menjadi seorang Ayah. Di antaranya adalah bahwa sebagai tulang punggung keluarga, yang waktunya banyak tersita di luar rumah, sulit bagi seorang Ayah untuk menjadi sosok yang paling dekat dengan anak-anak. Seorang Ayah harus mengorbankan keinginan bercengkrama lebih dengan buah hati demi memberi mereka kebutuhan-kebutuhan hidup. Saya juga baru menyadari, bahwa sikap Bapak yang tak mau diganggu setelah pulang kerja adalah sangat manusiawi. Saya belum pernah bekerja secara profesional, tapi terkadang saya juga sangat temperamental bila kerjaan kampus, organisasi, dll numpuk. Selama ini, saya terlalu mengharapkan Bapak untuk selamanya menjadi Bapak. Padahal dalam beberapa kesempatan, saya perlu memposisikan Bapak sebagai manusia.

Mengingat itu semua terkadang menumbuhkan keraguan saya tentang keniscayaan menjadi Bapak. Karena itu, sebelum melangkah terlalu jauh, saya berniat memperbaiki kualitas hubungan dengan Bapak. Barangkali sikap Bapak tak berubah, tapi masalahnya bukan itu, sayalah yang perlu mengubah pendekatan saya terhadap Bapak. Karena cepat atau lambat, saya akan menjadi Bapak. Dan kelak, saya harus menjadi bapak nomor satu di dunia.

Maafkan saya, pak!


0 komentar:

Posting Komentar