RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 25 April 2014

Hati Sang Hujan

Pembaca sekalian, kalian tentu pernah masyuk dalam serenade hujan, hanyut dalam melodinya. Tapi pernahkah kalian berpikir bahwa hujan yang selama ini membasuh kerontang, meredam isak tangis, menyamarkan air mata dan membubungkan aroma tenang, memiliki hati yang tak bisa ia selamatkan?

***

Kau hujan pertama lepas musim kerontang, tapi kau adalah mala jika hanya menguap di interval kemarau panjang.

Kusebut kau rinai, karena kau penyebab derai yang hingga kini tak kunjung usai. Tapi mulanya bukan lantaran itu.
“Namaku hujan!” ujarmu sambil mengibas rambut basahmu. Aroma lavender mengudara. Aku tertawa.
“Namamu aneh. Wanita biasanya bernama puspa, melati atau nama bunga lain,”
“Tapi aku lahir ketika rintik. Saat gerimis di atap rumah kami mendetik. Ibuku suka hujan. Lagipula, bukankah aku mirip hujan, segar, sejuk dan syahdu,“ kau mengedipkan sebiji matamu. Aih, bagiku itu halilintar, menggelegar dan menyusupkan gentar.
“Ya sudah, kupanggil kau rinai saja, ya. Karena tak semua hujan menyegarkan,” kupalingkan muka karena tiba-tiba saja adrenalinku berdesir.
Itu adalah pertemuan pertama kita. Dalam hujan yang tiba-tiba membanjur Bintaro siang itu, di tengah musim kering, kau tiba-tiba mampir berteduh di kios koranku. Kita lalu berbincang dalam guyur, tentang para petani yang berharap dengan hujan deras siang itu tanamannya subur. Kutawarkan koran-koran daganganku, nahasnya kau tak tertarik beli. Tapi aku bahagia waktu matamu berbinar saat kutunjukkan koleksi bukuku.
“Penjual koran sepertimu punya Don Quite De la Mancha?” alismu mengernyit. Bulunya yang tebal hitam terlihat lucu dengan polah itu.
“Haha, kau meremehkanku. Tidak semua penjual koran berkulit sawo matang dan pendek tak tahu buku bagus. Aku tercatat mahasiswa pasca sarjana sastra Inggris di UNY.” Kutunjukkan kartu mahasiswaku.
“Aku juga punya Anna Karennina Tolstoy, Ghaire Baire Tagore. Eh sebentar, kau pasti suka ini..” Aku membuka kardus di bawah meja kasir.
“Hah, Mo Yan!” kau langsung merebut Red Sorghunn Clan dari tanganku. Hampir saja kovernya sobek.
“Dasar China!” umpatku diakhiri tawa kecil. Kau ikut tertawa manis sambil menjitak kepalaku.
Siang itu adalah metafora pas untuk dirimu. Seseorang yang membasahi hatiku usai lama kering tak terbasuh. Aku sudah lama menutup hati, selepas ditinggal Sarah, kekasihku yang tiga tahun lalu meninggalkanku karena alasan yang sangat berperikewanitaan, materi. Seorang cukong rumah makan Padang melamarnya dan ia tak bisa mengatakan tidak. Waktu itu aku cuma mahasiswa semester empat yang hanya bisa menulis puisi, tak bisa memberi makan bahkan untuk diri sendiri.
“Sudahlah, barangkali dia memilih juragan itu karena lebih cocok dengannya!” komentarmu saat kuceritakan masa lalu.
“Cocok apanya? Aku sudah setahun bersama Sarah dan ia seperti benalu yang tak bisa lepas dari dahanku. Tapi bisa jadi sih, filosofi hidup mereka cocok. Mereka pasangan peternak dan ayam petelur. Laki-lakinya memberi makan dan sang perempuan kerjaanya hanya bereproduksi. Ayam petelur memang tak tahu indahnya berbalas puisi.” Aku menumpahkan semua keluh kesah yang selama tiga tahun tak pernah kuceritakan. Kau terkekeh-kekeh sampai menunduk-nunduk memegangi perut. Katamu aku lucu, konyol dan bodoh.
“Kalau ia memang ayam petelur, mengapa pula kau tak sadari dari dulu? Laki-laki memang munafik. Kau pasti tak bisa lihat ayam petelur berparas cantik kan? Hahaha,” Kau kembali tergelak, menyebalkan sekali. Ingin kutonjok mukamu tapi bersitan-bersitan merah di sekujur muka dan mata sipit yang memejam saat tertawa itu menggagalkan semuanya. Aku malah jadi melongo menikmatinya.
“Ngomong-ngomong, menurutmu Rinai, ada tidak, sih, wanita yang tidak matre?”
“Uhuk. Bokapku sebenarnya tak kalah kaya dari Hari Tanoe, Surya Paloh atau ARB, bedanya daddy nggak main di politik aja. Kalau aku matre, mana mungkin anak bilioner mau duduk dengan pribumi gembel sepertimu?” Kau bersedekap, mengangkat dagu. Kali ini aku yang terpingkal-pingkal.
Selanjutnya karena kita-sama sarkas, nyambung dan antusias (oia, maaf kalau aku sedikit lebih cerdas) kita berkelindan. Sebenarnya tidak pula secepat itu. Kita lebih dulu menyocokkan kepala dengan berbincang tentang pemikiran-pemikiran Sartre, Camus, dan Chomsky, serta berdiskusi panjang tentang karya-karya Gabriel Garcia, Hemingway, Kafka, dan Pamuk.
“Kata Chomsky Israel itu rasis. Bagiku konsep negara satu ras itu kolot. Masa di dunia modern seperti ini mereka masih saja mengajukan alasan primordial. Buktinya, di Indonesia, kau China dan nyaman-nyaman saja hidup di Jakarta,” selorohku.
“Eit, pemerintah sudah melarang penggunaan kata China lo, jadi mulai sekarang kau harus sebut aku Tionghoa, haha,” kau menuding-nuding seperti polisi menemukan pengendara motor tak bawa SIM.
“Kata-kata tak perlu dibunuh, mental buruk orang yang perlu dibenahi,” jawabku. Kami sepakat.
Saat kucecar perihal asmara, kau bilang masih sendiri. Kutanya mengapa, kau bilang menikah itu bukan soal dengan siapa kita jatuh cinta.
“Belum nemu yang cocok saja. Kita bisa bertemu dengan seseorang dan jatuh cinta. Tapi menikah adalah tentang menjalani sisa hidup kita, ini tentang skill membuat keputusan.”
“Apakah orang-orang di sekelilingmu bodoh semua? Kau terlalu sempurna untuk dilewatkan.” 
“Haha, tentu saja banyak eksmud yang mendekatiku. Dari yang sok gentle sampai yang menelpon tiap malam. Tapi aku mencari laki-laki yang menjalani hidup seperti ia menikmati lawak, banyak orang terlalu obsesif dengan hidup ini, terutama di komunitas kami,” kamu tersenyum, matamu hampir menghilang, haha.
“Tapi jangan banyak berharaplah. Kamu pendek, hitam dan dekil,” ejekmu. Kami lalu sama-sama terhuyung menahan tawa.
Ya, aku merasa kita sama, sarkas.
***
Bahwa hidup ini absurd, seperti kata Camus, aku baru sadar kemudian.
“Seno, aku ini hanya mayat hidup. Hatiku telah dicangkok. Jika kau melihatku begitu riang sekarang, semua itu karena seseorang yang telah hampir mati akan jadi lebih kuat. Aku dulu wanita payah dan peminum, hatiku rusak. Jika masalah hatimu adalah perasaan, hatiku benar-benar bermasalah secara medis.” Kau sesenggukan, baru kali ini kulihat wajah beningmu dibanjiri air mata.
“Tapi kau masih bernafas, kan. Teknologi telah banyak membantu manusia,” kubelai rambut hitam panjangmu.
“Teknologi tak bisa mengubah takdir. Sayangnya jodoh termasuk hal yang tak bisa diubah,” kau tiba-tiba memasang mimik serius.
“Ya, sebaiknya kau lekas tahu. Aku mencintaimu, Seno…” Aku terburu-buru sumringah, tapi kata-katamu ternyata belum tuntas, “tapi kau juga perlu tahu secepatnya. Ahok, taulan jauhku dari Batam melamarku. Masalahnya tentang hati. Benar-benar perihal hati. Dialah yang mendonorkan sebagian hatinya untuk ditranplantasikan di hatiku,” bulir-bulir kembali membasahi pipimu. Dan kini, tanpa kusadari, ia juga mengalir hangat di wajahku.
“Aku tak tahu harus bagaimana. Apakah harus memilihmu karena hatiku ada untukmu, atau dia yang sebagian hatinya telah ada di dadaku. Aku harap kau mengerti.”
Kata-kata terakhir itu hingga kini tak lekang dari ingatanku. Setelah pertemuan itu kita tak lagi bersua. Kabarnya kau menikah dan pindah ke China untuk menghindar dariku. Semoga di sana kau bertemu Mo Yan. Kau memang hanya hujan monyet yang turun dalam ganasnya kemarau, hanya menyisakan batuk, pilek dan gejala influenza lainnya. Hingga kini aku selalu bertanya pada Tuhan, apakah Hujan turun untuk menumbuhkan harapan baru bernama cinta, atau hanya membubungkan aroma lama tentang luka?


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantapzz.. mas Broo..

extraordinary mengatakan...

Mksh ust sudah berkunjung, hehe

Posting Komentar