RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Senin, 07 April 2014

Masisir, antara Apatisme dan Sikap Positif

“Masyarakat yang tidak memiliki harapan akan lumpuh,” M Fethullah Gulen.

Masisir panik. Pesta demokrasi yang sebentar lagi dihelat menjadi akar perkara. Banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir tidak tahu harus berbuat apa dalam pemilu 5 April nanti. PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negri) telah mengadakan sosialisasi, tapi acara beranggaran besar itu sepertinya belum cukup mengusir kebingungan.

23 Maret lalu, di Aula Limas, PPLN punya hajatan besar, sosialisasi pemilu. Agenda dikemas dengan presentasi pemenang lomba kolom dan dilanjutkan dengan debat perwakilan parpol. Yang unik, di tengah presentasi, lampu mati. Menurut saya, kejadian itu menyuguhkan metafora yang tepat sekali: di tengah glamornya usaha pemerintah mempopulerkan pemilu, kelamnya apatisme Masisir tak dapat seluruhnya diterangi.

Belum lama ini, saya baca komentar di facebook kerabat saya bahwa golput akan menang. Sebelumnya, seorang kawan yang lain menulis status yang membela prinsip-prinsip golput. Teman sekamar saya juga bilang tidak akan memilih. Dia beralasan selain tidak mengenal caleg yang maju, kekecewaan terhadap wakil rakyat yang menjabat saat ini juga membuatnya memutuskan abstain.

Apatisme ini sebenarnya tak jauh beda dengan wabah pesimisme yang melanda masyarakat Indonesia secara umum. Masisir hanya cermin kecil pemantul wajah asli dinamika politik nasional. Karim Raslan, penulis berkebangsaan Malaysia yang sangat memerhatikan dinamika kebangsaan Indonesia, mengatakan bahwa kampanye politik edisi kali ini adalah yang paling suram. Karim, yang punya proyek Ceritalah Indonesia, telah mengikuti perkembangan politik nasional sejak 1999.

Karim meneliti antusiasme masyarakat di dua propinsi paling padat penduduk, Jabar dan Jatim. Di Sidoarjo, Karim menemukan Nugroho, 57 tahun, yang menyatakan akan golput karena muak dengan politik uang para caleg. Di Ponorogo, ia berjumpa dengan Arif, pemulung sampah usia 31 tahun yang bilang bahwa pemilu legislatif hanya sebuah kemubaziran. “Tak akan ada yang berubah,” ujar Arif. Akibat keadaan ini, Karim menyimpulkan bahwa masalah utama bangsa Indonesia saat ini bukan lagi perihal disintegrasi, tetapi kekecewaan masyarakat yang meningkat terhadap demokrasi nasional.

Menurut saya, kekecewaan semacam ini wajar. Kita sama-sama muak dengan maraknya kasus korupsi, kelambanan dan tidak efektifnya pemerintah, perilaku buruk elit politik, juga seperti yang teman sekamar saya bilang, ketidaktersediaan calon legislatif yang ideal. Hal ihwal ini membuat orang banyak berpikir bahwa barangkali golput adalah solusi instan.

Tetapi apakah benar golput akan menyelesaikan masalah? Secara tidak langsung, tidak menggunakan hak pilih adalah memberikan legitimasi bagi pemenang pemilu yang belum tentu menyuarakan aspirasi kita. Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, cendekiawan Muslim tanah air, menyuarakan retorika menohok untuk mereka yang berniat golput:

“Jika Anda tidak mau ikut pemilu karena kecewa dengan pemerintah, atau anggota DPR, atau parpol Islam, itu hak Anda. Tetapi jika Anda dan jutaan orang lain tidak ikut pemilu maka jutaan orang fasik, sekuler, liberal, atheis, akan ikut pemilu untuk berkuasa dan menguasai kita. Niatlah berbuat baik meski hasilnya belum tentu sebaik yang engkau inginkan.”

Lebih jauh, golput dapat menimbulkan gonjang-ganjing politik hingga mengancam persatuan nasional. Bayangkan jika kebanyakan orang, karena putus asa dengan keadaan saat ini, memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi. Akibatnya, pemerintah akan kehilangan legitimasi, kemudian tiap-tiap kelompok –komunis, radikal, anarkis, dll- merasa berkuasa atas negri ini. Perang saudara bisa jadi akan menjadi masa depan buruk bangsa ini.

Bahwa demokrasi nasional saat ini berjalan buruk, kita sama-sama mengetahui. Namun kita juga tak boleh menutup mata bahwa masih banyak hal positif dalam dinamika kenegaraan kita. Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Anis Baswedan, rektor Universitas Paramadina, menyebutkan bahwa salah satu sisi positif negara ini adalah kedewasaan politik. Peserta konvensi capres partai Demokrat ini menjelaskan lebih jauh bahwa sebenarnya ada banyak sekali kasus dalam pilkada. Tetapi semua kasus itu selesai di meja peradilan lalu masing-masing pihak berbesar hati menerima putusan hakim. “Yang jadi masalah jika setiap pihak yang tak puas turun ke jalan lalu bakar-bakaran semua -seperti di Timur Tengah-,” ujar Anis. Sikap bangsa Indonesia yang legowo itu, kata Anis, adalah tanda bangsa beradab.

Perlu diperhatikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang masih muda dalam pencarian sistem pemerintahan ideal. Sepatutnya kita menyadari bahwa dalam proses pencarian itu akan ada trial and error. Amerika Serikat saja pernah mengalami perang saudara sebelum menjadi negara super power. Yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah solusi berwujud peran aktif, bukan sikap apatis.

Kita harus optimis masalah demi masalah dapat diselesaikan dengan sikap politik yang aktif, cerdas dan tepat. Bukankah korupsi, efektifitas pemerintah, perilaku elit, dapat ditanggulangi dengan memilih wakil dengan integritas baik. Pula, bila masalahnya adalah ketidaktersediaan calon yang dibutuhkan masyarakat, mengapa tidak memantaskan diri menjadi wakil rakyat?

Tidak menggunakan hak suara, seperti menggunakannya, adalah opsi. Tetapi setiap pilihan memiliki konsekuensi, dan golput dapat membawa akibat yang amat buruk. Dalam khazanah keislaman, para salaf menggunakan istilah “setan bisu” untuk mereka yang diam dari kebenaran. Bagi saya, golput termasuk golongan itu. Bukankah dalam demokrasi, setiap individu dijamin kebebasan menyuarakan kebenaran? Bahkan kebenaran versi apa saja.


Maka, Masisir sebagai komunitas akademis, menurut saya perlu mempertimbangkan lebih jauh sikap politiknya. Kita bukanlah masyarakat tak berpendidikan yang mendasari setiap pilihan tanpa pertimbangan nalar berpikir dan landasan ilmiah. Kita adalah komunitas terdidik yang tindak tanduknya jadi teladan. Terutama karena kita adalah entitas pelajar yang –mayoritas- berkecimpung dengan khazanah keilmuan Islam. Tugas kita adalah menjadi pionir yang mendorong perspektif optimis dan harapan atas masa depan bangsa ini. Karena masyarakat yang tak punya harapan, kata Gulen, akan lumpuh.

*dimuat di buletin mahasiswa Indonesia di Mesir, Terobosan

0 komentar:

Posting Komentar