RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 22 Februari 2013

Keadilan



(Sebuah Opini atas buku al-Tibr al-Masbûk fi Nashihah al-Mulûk)

Keadilan bukan utopia. Sejarah mencatat bukti-bukti tertulis. Apa yang al-Ghazzali sajikan dalam al-Tibr al-Masbûk fi Nashihah al-Mulûk setidaknya menjadi satu dokumentasi konkrit.

Keadilan, menurut al-Ghazzali, merupakan syarat mutlak berlangsungnya sebuah rezim. Negara akan eksis selama keseimbangan dalam masyarakat terjamin. Hilangnya kesinambungan sosial adalah penyebab pertama chaos. Ujung-ujungnya, kekuasaan runtuh. Kekuasaan dapat bertahan di tangan kafir, tapi tidak di genggaman lalim, begitu kutip al-Ghazzali sabda Rasullah SAW di bab pertama.

Konon, buku ini adalah persembahan al-Ghazzali  untuk Sultan Muhammad Malik Syah, sultan Seljuk setelah Tughril dan Alp Arselan. Sumbangsih bukan melulu ketaatan yang pasrah, kritik membangun juga termasuk dedikasi. 

Konten buku yang naskah aslinya ditulis dalam bahasa Parsi ini lebih banyak berupa cerita-cerita. Intinya -yang terletak pada petuah-petuah- dibiarkan al-Ghazzali tersembunyi di belantara kidung-kidung. Memang ada beberapa nasihat yang diutarakan secara gamblang di pangkal setiap bab. Tapi itu adalah ihwal normatif sehingga jauh dari kesan menggurui.

Al-Ghazzali menulisnya dengan santun, tapi juga sangat didaktis. Pembaharu Islam abad ke lima ini mendudukkan Sultan sebagai seorang bestari, yang dengan sendirinya mampu menyimpulkan alegori-alegori.

Sebanarnya, hikayat-hikayat itu tidak rumit. Orang awam pun dapat memahaminya dengan mudah. Misalnya tamsil berikut: 

Syahdan, Khosrou I adalah raja Persia yang adil lagi bijaksana. Begitu agungnya raja dinasti Sassaniyah ini, hingga ia dijuluki jiwa yang kekal (Anusyirwan). Diceritakan bahwa Anusyirwan memerintahkan punggawa kerajaannya untuk naik ke puncak tertinggi dari kota. Dari tempat itu mereka memperhatikan setiap rumah. Apabila terdapat rumah yang tak mengepulkan asap, mereka mendatanginya. Menanyakan masalah. Jika tengah dilanda musibah, raja datang membantu. Bila sedang didera kefakiran, raja memberi sedekah.

Ah, cerita di atas akan terbaca sebagai dongeng jika kita baca sekarang. Kini, hampir mustahil ditemukan pengulangan kisah. Para penguasa sepertinya lupa –atau benar-benar tidak tahu- apa yang seharusnya mereka lakukan. Masyarakat pun pelan-pelan mulai terjangkit amnesia tak wajar ini. Entah, mungkin karena terlalu lama tak mengecap kesejahteraan. Walhasil, blusukan yang sebenarnya biasa saja kini jadi fenomena.

Masih banyak riwayat-riwayat lain. Tapi saya tak mau mendedah semua. Karena masyuk cerita tersebut justru akan jadi utopia sarkastik. Nyinyir menyindir keadaan kita. Mari kembali pada buku.
Buku yang ada di tangan saya edisi terjemahan bahasa Arab. Penerjemahnya –tidak meperkenalkan diri namun ditengarai salah satu murid al-Ghazzali- mengaku telah berupaya sebaik mungkin dalam menerjemah. Tentunya, edisi terjemahan berbeda dengan bila al-Ghazzali menulis langsung berbahasa Arab. Al-Ghazzali dikenal sebagai ensikopedian, tetapi dengan kualitas kelas satu di masing-masing bidang. Bahkan dari karyanya yang bercorak tasawuf, Ihya’ ‘ulûmuddin, seorang mahasiswa al-Azhar dapat menulis thesis tentang balaghah.

Pelajaran dapat diambil bukan saja dari teks. Konteks penulisan buku tersebut juga bermakna. Al-Ghazzali mengajari kita bagaimana seharusnya peran cendekiawan terhadap pemerintah. Al-Ghazzali menjalankan peran kritis tanpa mengiris.

Kini, saya tak melihat hubungan antara raja –atau presiden untuk saat ini- dan cendekiawan bisa seromantis kala itu. Dalam sistem demokrasi yang lumrah saat ini, penguasa jarang mendengar suara dari luar. Jangan dengarkan, itu oposisi, demikian paradigma yang terbangun. Penguasa dan oposan berlomba adu bijak dalam setiap kasus. Pemerintah dan kalangan luar pemerintah berada dalam dua titik kontras. Produk Barat ini, di beberapa titik –seperti Jokowi tuturkan pada Alberthiene Endah di buku memoar resminya- kering dan kaku. Sementara, pada hakikatnya, Timur memiliki budaya pengentasan masalah yang menyejukkan.

Secara tidak langsung, Al-Ghazzali juga mengkritisi cendekiawan yang mati fungsi. Zaman al-Ghazzali banyak ulama yang lebih memilih menjadi penjilat raja daripada menjalankan fungsi penasehat. Kondisi yang tak jauh beda dengan sekarang. Dalam Ihya, al-Ghazzali menulis:

“Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya.”

Barangkali, kita perlu mengerem nafsu kritik pada penguasa. Sedikit introspeksi mungkin akan membantu. Apakah kita sudah menjalankan fungsi sebagai rakyat yang baik. Sebagai rakyat yang tidak melulu mengharapkan keuntungan dari pekerjaan para pemimpin. Jika tidak, boleh jadi keadilan dan kesejahteraan memang utopia. Agaknya kita perlu membangkitkan al-Ghazzali dari liang kubur.

1 komentar:

balvan java mengatakan...

wah antap nie,

Posting Komentar