RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Jumat, 22 Februari 2013

Kopiah Hitam dan Nasionalisme



Ketika masyarakat Indonesia dilanda krisis identitas, Sukarno mengajukan kopiah hitam.

Suasana Indonesia menjelang kemerdekaan sangat rumit. Situasinya tak sesederhana bertaruh nyawa demi mengusir penjajah kulit putih, ada masalah sosial, ekonomi, budaya, politik, dan banyak lagi yang harus turut serta dituntaskan. Tak bisa dianaktirikan. Kemerdekaan bukan saja perihal berkuasanya pribumi di tanah sendiri, tapi yang lebih penting adalah bagaimana berdikari di tumpah darah pertiwi.

Masalah demi masalah itu merupakan efek domino dari politik kaum imprealis. Penjajah memberlakukan politik divide et impera (pecah belah dan kuasai) untuk melemahkan kekuatan pribumi. Ulama dan santri diadu dengan para priayi dan kaum adat. Antar suku diintimidasi untuk saling benci. Perbedaan mazhab dikompori untuk menjadi akar perpecahan. Semua itu dalam rangka mencegah timbulnya kebersamaan dan persatuan pribumi.

Di antara berjubel masalah, krisis identitas adalah yang paling fundamental. Rakyat Indonesia tak tahu lagi bagaimana mereka beridentitas. Belanda sukses menanamkan rasa inferior terhadap budaya asli pribumi. Keadaan demikian memang merupakan tujuan utama dari misi penjajahan, mengalahkan penduduk negara jajahan secara fisik dan mental. Seperti diungkapkan oleh Carl Von Clausewitz dalam On War, bahwa untuk dapat memenangkan perang, maka yang harus diutamakan dan dijadikan target serangan adalah destruction of enemy’s will (penghancuran kemauan lawan).

Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah kolonial melarang penggunaan bahasa Belanda oleh rakyat. Selain itu, selaras dengan pelaksanaan politik tanam paksa, Belanda melakukan pemindahan masal penduduk ke daerah lain dengan budaya berbeda untuk menjadi buruh. Ini menyebabkan generasi baru dari komunitas tersebut kehilangan identitas budaya ibunya karena tumbuh dalam lingkungan yang berbeda. 

Strategi lain, untuk melepaskan pribumi dari ikatan tradisi dan budaya, pemerintah Belanda membuat politik asosiasi. Dalam praktiknya, politik asosiasi mengembangkan budaya barat untuk mengikis tradisi Islam. Sehingga generasi baru pribumi tumbuh sebagai generasi yang tidak lagi memiliki rasa tanggungjawab dan tidak mampu mempertahankan jati diri, atau menurut istilah Erich Kahler, generasi yang tingkahnya lack of definite style of life (tidak lagi memiliki gaya hidup yang jelas).

Rasa inferior itu begitu berpengaruh dalam jiwa pribumi, terutama rakyat kalangan bawah. Dalam diri rakyat timbul semacam paradigma bahwa masyarakat kulit berwarna (Asia & Afrika) tak akan bisa mengalahkan orang kulit putih (Eropa). Bahkan, inferioritas itu juga mendera mindset para intelektual. Efeknya, kaum intelektual jadi benci semua hal yang berbau Indonesia, termasuk cara berpakaian. Mereka mencemooh pemakaian blangkon, sarung, serta peci yang biasa dipakai tukang becak dan rakyat biasa lainnya.

Tapi penyakit rendah diri ini tak menjangkiti jiwa seorang Sukarno. Dengan bangga Sukarno memperkenalkan pemakaian peci, dan akhirnya hingga kini -meski mulai surut- menjadi identitas nasionalisme bangsa Indonesia. Cindy Adam, dalam biografi Bung Karno, mengutip kata-kata Bung Karno tentang peci:

“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh pekerja-pekerja bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Tapi istilahnya berasal dari penjajah. Dalam bahasa Belanda ‘pet’ berarti kopiah, ‘je’ akhiran untuk menunjukkan ‘kecil’, dan kata itu –peci- sebenarnya ‘petje’. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka.”

Perkara peci tersebut adalah contoh tindak nyata Sukarno mengusahakan kemerdekaan dengan memberi solusi terhadap permasalahan yang melanda bangsa Indonesia.

Masisir dan Identitas

Masisir adalah potret mini Indonesia. Keragaman budaya, latar belakang, paradigma, kecenderungan, serta perbedaan lainnya mencerminkan sepenuhnya ladang perjuangan Masisir sebenarnya, Indonesia. Dalam kebinekaan majemuk itu Masisir berdinamika. 

Dalam dinamika Masisir di bumi Kinanah ini, kita dipertemukan dengan budaya yang lebih beragam lagi dari berbagai penjuru dunia. Setiap komunitas membawa serta ciri khas masing-masing. Tingkah laku, karakter, makanan, bahasa, logat, dll, mencerminkan keadaan lingkungan yang menerpa tumbuh kembang entitas tertentu. Sederhananya, semua itu terbias dalam ragam pakaian masing-masing entitas.

Di sini kita mengenal keffiyeh, sorban Arab, dan mulai mengerti fungsinya selain sekedar tutup kepala. Sebagian wanita kita bahkan mulai akrab mengenakan pashmina. Lelaki-lelaki kita mengagumi wanita-wanita Turki beserta kerudung scarf khas mereka yang elegan. Mata kita juga terbiasa mengenali pelajar Malaysia dengan baju kurung Melayu dan peci putih terongok di atas kepala.

Masisir sendiri masih setia dengan pluralitas. Tak ada penanda khusus yang membuat orang mengenal manusia Indonesia kecuali raut muka Asia. Karena itu, seringkali orang Mesir memanggil kita dengan sebutan Shinî (orang China). Kita patut bersyukur, di ranah akademis, secara umum kecerdasan manusia Indonesia menjadi pembeda dari komunitas Asia Tenggara lainnya. Tapi di luar itu, terutama dari cara berpakaian, kita tak dikenal dengan baik.

Akhir-akhir ini, bersamaan dengan merebaknya demam batik di Indonesia, sebagian Masisir mulai akrab dengan baju batik. Ini adalah perkembangan bagus. Masisir mulai memiliki ikon diferensial. Tapi batik tak dikenali di musim dingin, karena kita harus mengenakan pakaian berlapis yang menutupi pengenaan batik.

Maka, memopulerkan kembali pengenaan kopiah hitam dapat menjadi solusi. Hingga saat ini, kopiah hitam masih menjadi bagian dari pakaian resmi nasional. Presiden -juga para mentri, dll- selalu mengenakan kopiah hitam sebagai aksesoris foto resmi . Kopiah hitam pun, seperti kata Sukarno, adalah asli milik bangsa kita. Pemakaiannya di kalangan rakyat Indonesia telah membudaya. Lagipula, kopiah hitam lebih nasional dari tutup kepala khas daerah, blangkon misalnya, sekaligus lebih praktis.

Dalam beberapa kesempatan, reaksi teman-teman dari negara lain sangat positif mengenai pengenaan kopiah hitam ini. Bahkan, beberapa kali kopiah hitam yang saya kenakan dipuji oleh dosen pengajar. Saya telah membuktikan sendiri kesan Sukarno bahwa kopiah hitam memberikan kesan anggun dan gagah. Lagipula, di negri orang lain, terutama karena kita dihadapkan dengan budaya-budaya dari bangsa lain, kata-kata Sukarno berikut menjadi relevan, “Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia.”

0 komentar:

Posting Komentar