RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 23 Februari 2014

Gajah Subur

Gajah Subur bukan nama sejenis mamalia. Ia adalah nama desa tempat kepribadianku disemai ketika belia. Terletak di pesisir Barat pantai Sumatra. Selang-seling cemara dan kelapa memagari kampung kami dari gulung-gulung ombak samudra Hindia. Nun jauh di Timur, bukit Barisan berjejer membentuk benteng raksasa. Menjadi pigura untuk sang surya yang terbit setiap pagi.

Mengenai nama aneh itu, aku sama sekali tak tahu asal usulnya. Pak Bendi, kuncen hutan yang kabarnya punya ilmu ghaib, bilang bahwa dahulu tempat kami adalah markas dedemit. Komplotan hantu itu dipimpin oleh raja setan berwujud gajah raksasa.

“Akulah, eheheh, yang berhasil mengusir komplotan makhuk halus itu, eheheh,” ujar Pak Bendi sambil terkekeh seperti biasa. Gigi ompongnya mirip rumah transmigran yang lama ditinggal penghuninya, bolong di sana-sini dimakan rayap. Pak Bendi selalu mengakhiri celotehnya dengan menyedot dalam-dalam rokok kretek dengan alat hisap dari gading gajah India.

Tapi, ah, lupakan! Aku tak pernah percaya cerita itu. Meski selain Pak Bendi, tak ada orang lain di kampong ini yang tahu sejarah desa. Aku malah lebih maklum denga ncerita Pak Sobar, pemburu termasyhur kampung kami. Pak Sobar sering mendapatkan buruan-buruan unik. Ia pernah menangkap beo warna kelabu, murai berjari kaki lima, serta yang paling aneh rusa bertanduk tiga.

Dan menurut ceritanya, asal mula nama desa kami adalah bahwa ketika perambah hutan ingin membuka desa, mereka dicegat seekor gajah teramat besar, seukuran truk tronton. Gajah itu mengamuk menyerang para penebang pohon. Tujuh orang pekerja tewas diterjang sang gajah.

Aku juga tak tahu mengapa aku terlahir di desa tepi hutan ini. Ayahku adalah lulusan STM pertanian yang berusaha mendapatkan penghidupan yang layak. Nasib mengantar kannya bertugas menyuluh petani-petani baru yang pekerjaan aslinya adalah berdagang atau kuli. Sementara ibu adalah sosok wanita setia yang rela meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di salah satu sekolah swasta Surabaya demi menemani suamit ercinta. Karena kegigihan seorang pemuda mencari pekerjaan dan kesetiaan seorang istri itulah aku terdampar di tempat ini.

“Di tempat sunyi seperti ini kita akan terlatih untuk lebih peka mendengar, lebih khidmat dengan alam. Di kota, telingamu akan terbebali bising kendaraan hingga tak sempat terbuai lolong-lolong simpanse, kerik jangkerik, bahkan kokok ayam jantan di pagi hari.” Ayah bertutur sambil mengelus rambutku. Jawaban macam ini selalu ku dengar setiap kutanya mengapa ayah tak ikut pindah ke kota seperti kolega-kolega pegawai negri lainnya. Bulan lalu, Pak mantri pergi. Seminggu kemudian, bidan desa angkat kaki. Hari ini, salah seorang guru di satu-satunya sekolah desa turut pindah kerja.

Desa kami memang terpencil, terpisahkan 20 kilometer dari Argaraya, desa terdekat. Transportasi keluar desa sangat susah. Hanya ada dua mobil di desa ini. Keadaan itu membuat para pegawai yang ditempatkan di sini tak pernah betah. Biasanya mereka hanya tinggal setahun, sekedar memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan pindah tempat kerja.

 “Pegawai negri sekarang bukan lagi para pengabdi negri, tapi para lintah darat ibu pertiwi. Mereka menyedot pendapatan negri ini dengan bekerja ala kadarnya. Tak mau berkorban demi rakyat kecil yang karena pajak mereka, para pegawai itu digaji,” sungut Ayah mengomentari para pegawai itu. Raut muka Ayah tampak geram.

Aku mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi anak tiri ambisi-ambisi pribadi pegawai mata duitan itu. Sekolahku tak pernah masuk pagi, padahal sebagian anak yang tinggal di seberang sungai harus berangkat pagi-pagi sekali, ketika matahari masih berupa semburat merah di ufuk timur. Itu pun dengan resiko terseruduk celeng yang larinya tak bisa belok karena dikejar anjing hutan atau dipatok ular sendok yang tiba-tiba mendesis di atas kepala, di balik rimbun dedaunan yang tak sengaja tersibak kepala.

Belum lagi jika hujan turun, sungai Air Ramai yang di hari-hari biasa sangat bersahabat itu –airnya sangat jernih, batu-batu di dasarnya warna-warni, ikannya besar-besar- pasti mengamuk. Arusnya deras menerjang-nerjang pohon dan bebatuan di tepi sungai, menghayutkan apa saja yang tak kokoh. Teman-temanku, yang tinggal di seberang sungai, harus manjat pohon Pukak dan bergelayutan di atas tali yang digantung melintang sungai. Si Topa, jagoan main kasti sekolah kami, pernah sial tergelincir dan hanyut dibawa arus sungai hingga ditemukan di lubuk Semundam, 30 kilometer dari desa kami. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan.

Aku juga selalu berangkat sekolah pagi-pagi meski tidak sepagi mereka. Usai shalat subuh dan mengaji di rumah Pak Sulaeman, aku main badminton sebentar dengan Ayah di lapangan depan KUD seberang rumahku. Lepas itu mandi, makan dan segera berangkat. Tapi setibanya di sekolah para guru belum datang. Bayangkan, baru pukul 08.30 WIB kegiatan belajar mengajar dimulai. Aku berjanji jika aku besar dan jadi penulis akan kubeberkan semua borok mereka. Biar orang-orang tahu, bahwa di pelosok-pelosok negri ini masih banyak anak yang tidak mendapatkan hak pendidikannya.

Kampungku sebenarnya sangat potensial. Ada air terjung setinggi tujuh meter di ujung desa, arusnya pun besar. Seharusnya air terjun itu bisa digunakan untuk menerangi tiga desa. Tapi kata Ayah, proposal yang diajukan untuk membeli dynamo dan seperangkat alat PLTA tak dikabulkan pemda. Jadilah malam-malam desa kami begitu mencekam dengan satu dua lampu patromak yang tergantung di rumah orang-orang yang cukup berada. Selebihnya hanya bercahayakan lampu teplok atau kaleng sarden berisi minyak yang diberi sumbu sobekan kolor bekas.

Pernah juga singgah sebuah mobil jip hitam di rumahku. Ada dua orang turis –semua bule bagi orang kampung kami adalah turis- asal Australia yang turut bersama orang sewaan dari Bengkulu. Kata Ibu mereka tengah menyelidik bebatuan di sungai belakang rumah Pak Hendri.

“Mau diapakan lubuk kami, bu?” protesku pada Ibu setelah pada satu siang menemukan mereka mengebor tebing-tebing tepi sungai, dan itu membuat lubuk tempat kami biasa mandi keruh.

“Mereka bilang menemukan batubara,” jelas ibuku. Untungnya akhirnya mereka pergi dan tak pernah kembali. Kata ibu batubaranya masih muda. Aku tak peduli kecuali bahwa lubuk kami kembali jernih.

Kampungku juga menyimpan kisah-kisah ironis. Jika malam purnama, muda-mudi bercengkrama di lapangan badminton depan KUD. Di gardu samping pohon akasia yang sangat rindang. Ada satu dua yang membawa gitar dan menyanyikan lirik-lirik roman. Beberapa rayuan gombal juga terdengar di antara lagu. Tapi suara mereka tak ada yang merdu hingga malah menganggu usahaku untuk tidur. Terkadang aku harus menahan otot perut yang tegang mendengar jual beli ejekan konyol antar mereka yang saling menertawakan malangnya nasib.

“Ah, kau buyung. Jangan pikir dengan keahlian kau memancing ikan kau dapat meminang Yanti, adik ipar kades kita itu, hahaha,” Aku kenal itu suara Yanto, buruh perkebunan sawit yang mukanya penuh codet karena tertimpa setandan buah sawit.

“Hei, kau buruh sawit seumur hidup dan terancam tujuh turunanmu jadi buruh. Pikirkan saja bagaimana agar keturunan kau kelak tak jadi buruh sawit. Tak usah banyak cakap urusan asmara orang!”

Lalu gelak tawa membahana, orang-orang itu tak perlu membaca novel filosofis Albert Camus, The Myth of Sisyphus untuk mengerti bahwa menertawakan diri sendiri adalah obat mujarab tuk menjalani hidup yang serba miris.

***
Siang ini, aku teringat semua cerita masa kecil itu ketika mampir sejenak di rumah makan padang di tempat yang dulu adalah rumahku. Aku sedang dalam perjalanan ke Padang untuk sosialisasi e-ktp. Kini KUD telah beralih menjadi bagunan kayu tempat para buruh menginap, dan lapangan badminton berubah jadi pasar semi permanen yang hanya ramai jika hari gajian tiba.

Di bawah akasia yang batangnya semakin besar saja, Ahmad Musthafa –maaf lupa kuceritakan kalau nama asli buyung begitu keren- dengan uban di mana-mana menunggui ikan-ikan hasil tangkapannya yang ia untai dengan rautan buluh bambu. Di sampingnya, Yanto tengah tergelak menunjuk ikan dagangan buyung. Di pinggang Yanto tersarung parang, tangannya menggenggam galah panjang untuk memanen sawit bak prajurit memegang tombak. Hanya itu yang dapat kuceritakan karena seluruh desaku kini telah jadi perkebunan sawit. Kabarnya pemiliknya orang Malaysia.


0 komentar:

Posting Komentar