RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Minggu, 23 Februari 2014

Penulis Payah yang Malas Membaca

Tadi sore, seorang kawan menyapa, bertanya sekaligus menghentak saya, “mana tulisanmu? Biasanya tiap hari.” Tentunya dia tak membentak, ini cuma percakapan chatting yang tak ada intonasi suara. Tapi pertanyaan macam itu, bagi saya yang dulu sangat keranjingan menulis, selalu menjadi semacam teror.

Ubun-ubun saya seketika panas tetapi saya sudah terbiasa mencari dalih. “Saya sedang belajar menulis cerpen.”

Pernyataan saya benar. Saya memang tengah menggeluti tata cara menulis cerpen, tapi itu juga sungguh-sungguh sebuah dalih (baca: alasan (yg dicari-cari) untuk membenarkan suatu perbuatan, kbbi).

Alih-alih berjibaku latihan menulis cerpen, saya malah terlalu terbelenggu dengan masa lalu. Senyum-senyum sendiri menikmati satu dua cerpen yang lumayan berhasil, dan merana dengan kegagalan saya merangkai banyak cerpen. Padahal penulis –juga kreator-kreator lainnya-, kata AS. Laksana, haruslah terbebas dari bayang-bayang karya terdahulu.

Barangkali saya adalah penulis yang masih hidup dalam cakrawala pembaca. Tugas pembaca memang mengekalkan ingatan pada apa yang mereka sukai –seperti anak muda yang baru-baru jatuh cinta, hihi-. Tetapi urusan penulis adalah move on, menghapus ingatan dari apa-apa yang sudah mereka bikin. Nasehat terakhir juga saya dapat dari Sulak.

Saya juga gagal mengejewantahkan nasehat guru menulis saya, “banyak-banyaklah membaca, karena hanya penulis amatir yang menghasilkan tulisan lebih banyak dari pembaca.” Masalahnya, bukannya antusias baca, saya malah lebih banyak meratap, “kapan ya saya bisa banyak baca?” dan membiarkan waktu saya tersita untuk renungan tak bermanfaat ini.

Menulis sebenarnya tentang kedisiplinan. Jika pemain bola saja setiap harinya memiliki jadwal rutin berlatih, mengapa penulis yang kerjaannya tidak main-main tidak punya waktu khusus menulis?


Ok, saya perlu mengakhiri keluh kesah ini namun yang lebih penting adalah bagaimana mengakhiri kebiasaan buruk. Saya tak mau menjadi kuburan untuk mimpi-mimpi saya sendiri. Saya tak mau di usia ketika orang-orang telah matang sebagai penulis, kenalan-kenalan facebook masih saja memuji saya sebagai “orang yang berbakat menulis.” Jika itu terjadi, artinya saya telah gagal menyelaraskan diri saya dengan potensi. Masalahnya bukan malu atau tidak, ini tentang laporan pertanggungjawaban perihal apa saja yang saya kerjakan di dunia.

0 komentar:

Posting Komentar