RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 12 Februari 2014

Satu Catatan Kecil untuk Cerpen Dua Calon Penulis Besar

Pareidolia

Membahas karya Umar adalah berbicara tentang makna. Berbeda dengan penulis picisan macam saya, Umar sudah beranjak jauh dari karya romansa cengeng, dan lebih tertarik mengangkat tema-tema yang membawa sastra sebagai sarana olah masyarakat, semacam realisme sosialis.

Dalam karya-karya penulis, entah disengaja atau tidak kita dapat melihat obsesi memampatkan cerita dengan perkara-perkara pintar: perbincangan tentang teori-teori psikologi, analisa penyakit-penyakit kejiwaan, dlsb. Dalam cerpen kali ini, penulis ingin berbicara tentang pareidolia -fenomena psikologis yang melibatkan stimulus samar-samar dan acak (seringkali sebuah gambar atau suara) yang dianggap penting-. Pekerjaan semacam ini, adalah upaya yang sangat berpeluh-peluh jika dilakukan orang yang tidak ahli bercerita.

Kemampuan cerdas ini dibantu dengan kecenderungan penulis yang memang telah banyak bergelut dengan Freud, C.G Jung, psikoanalisa dan masalah kejiwaan lain –harap tidak disalah artikan, haha-

Kedewasaan penulis nampak dalam tema apik yang dia bawakan, potret dinamika pengusutan korupsi di tanah air. Umar beimajinasi tentang Bupati Malang –malangnya dia berasal dari kota itu- yang terbukti korup lewat satu praktik psikoanalisa.

Penulis nampak hati-hati menuliskan cerita ini, terbukti dari tidak adanya muskil kecuali beberapa detil kecil cerita yang sedikit tak berkenan dengan logika. Tapi secara keseluruhan, kita tak bisa mengharapkan lebih dari contoh tulisan yang sangat matang untuk ukuran kita-kita ini.

Tentang Sukma, Potongan Awan, dan Gadis Bernama Nabeela

Membaca cerpen Fitra ini mengingatkan saya dengan senandung Melayu. Kata-katanya penuh puitika khas lagu Melayu yang penuh perasaan. Kalimat-kalimatnya pun menyeret saya pada dunia di mana  semuanya adalah irama yang mendayu-dayu. Mari kita lihat kalimat-kalimat berikut: aku mencintai malam lantaran malu pada terang. Lantaran ketakutanku pada siang, yang pernah menangkap basah rasa yang dalam… Amboi! Saya yakin ini muncul dari garapan dan pertimbangan yang serius, jika tidak, artinya kita menemukan bakat sastra yang luar biasa pada diri penulisnya.

Kekuatan kata-kata penulis juga terejewantah pada sisi lainnya, kepiawaian meramu majas. Lihatlah bagaimana Fitra menggambarkan suasana pagi di tepi Laut Mediterania dengan kanvas yang tertimpa cairan cat biru: Kala itu, di paginya laut Mediterania, langit dan pantai seperti ketumpahan cat cair biru…, lihat pula bagaimana dia mengungkapkan riuhnya suara ombak sebagai sesuatu yang rusuh : dengarkan pula rusuhnya gulungan ombak yang berkejaran.

Penulis sendiri mengatakan bahwa kemahiran membuat perbandingan macam itu diperoleh dari polah unik sang ponakan, Tania. “Barangkali karena masih kecil, kali ya!” jelasnya diakhiri dengan senyum. Menurut saya, ya, penulis sangat perlu memelihara keluguan anak kecil melihat hal-ihwal -segala sesuatu yang belum selesai didefinisikan dan perlu selalu ditanyakan-.

Jika ada ihwal yang menjadi catatan merah, mungkin hanya karena penulis terlalu masyuk dengan pemilihan kata-kata, hingga secara tak sengaja melewatkan unsur-unsur lain yang perlu dimatangkan, terutama alur cerita.

Terakhir, saya berharap upaya-upaya kecil macam ini menjadi pemantik bara semangat dalam rangkaian besar proses belajar menulis kita.



0 komentar:

Posting Komentar