RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Sabtu, 14 Juni 2014

On Women and Their Unfinished Things




Jujur, persepsi saya terhadap wanita mulanya berupa preseden positif. Pasalnya, tumbuh kembang saya sebagai manusia lebih banyak dikarenakan curahan perhatian dan lindungan Ibu. Bapak mengambil peran yang lebih sedikit karena sibuk di luar rumah. Jadi, mulanya saya menggap semua wanita bagai Ibu–teman saya yang gemar Carl Jung bilang ini gejala odipus complex-, yang sabar, telaten, ulet dan pemaaf. Lebih dari itu, citra Ibu dalam benak saya tergambar sebagai sesuatu yang sempurna

Bersama berjalannya waktu, saya mengerti jika setiap persona memiliki keunikannya masing-masing. Tidak semua wanita seperti Ibu. Saya juga harus mengerti jika mereka memang bukan ibu saya yang perhatian utamanya adalah anaknya. Terutama sekali, saya segera dihadapkan dengan pengetahuan tentang rumitnya wanita.

Lalu, saat bersentuhan dengan makhluk-makhluk halus itu, karena tersadar dengan ketidaksempurnaan dunia, saya lebih memilih untuk berlalu, menyisakan banyak hal tak terselesaikan. Mengapa? Karena wanita adalah misteri yang tidak untuk dipecahkan, tetapi untuk dinikmati sebagai sebuah mahakarya. Bukankah karya seni, kawan, tetap bernilai tinggi bahkan ketika menyisakan pertanyaan-pertanyaan?

Lagipula, usaha menyingkap wanita adalah urusan berpeluh-peluh. Membutuhkan tenaga, pikiran, perasaan dan waktu yang membentang. Bagi saya, itu adalah pekerjaan seumur hidup. Artinya, saya memilih untuk tidak terjun dalam aktifitas sibuk itu sekarang, dan membiarkan mereka dengan segala pesonanya terbang.

Maka, dalam banyak kesempatan untuk berinteraksi dengan wanita selama ini, saya lebih terlihat seperti pengecut. Tidak, saya bukan pengecut. Saya hanya belum menjatuhkan diri saya pada peperangan yang seharusnya. Atau, mungkin kebijakan saya bisa diungkapkan dengan strategi kuno ini: you may loose the battle in order to win the war.

0 komentar:

Posting Komentar