RSS
Semua orang hidup dalam tempurung, dan semua menganggap itulah alam semesta.

Rabu, 29 Februari 2012

We Are All Greats

Jika semua manusia diciptakan sama, lantas mengapa realita yang ada menunjukkan perbedaan dan kasta-kasta? Mengapa orang-orang selalu lebih baik dari kita?

Sebagai manusia yang diciptakan berhawa nafsu, pertanyaan diatas wajar muncul. Diakui atau tidak, kita semua selalu terintimidasi dengan hasil yang didapatkan orang lain. Terutama sekali jika hasil tersebut lebih baik dari pencapaian kita. Ini juga alamiah, karena kita memang diciptakan untuk selalu bersaing. Allah berfirman dalam Al Qur’an:

“Dan berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (Al Baqarah:148)

Dan di ayat lain:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al Mulk:2)

Jadi, perasaan jengah dan terintimidasi akibat pencapaian orang lain adalah lumrah. Karena dalam jiwa kita telah tertanam semangat berkompetisi. Tinggal bagaimana menyelaraskan ego tersebut dengan kenyataan di lapangan.

Saatnya menjawab pertanyaan diatas. Jika semua manusia diciptakan sama, mengapa di dunia ini ada orang-orang hebat yang berhasil melakukan pekerjaan hebat? Sementara kita, yang katanya punya modal yang sama, seperti tak menemukan jalan menuju level tersebut. Mengapa orang-orang seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Einstein, Isaac Newton bisa sedemikian fenomenalnya? Apa rahasia mereka? Einstein punya jawaban sederhana untuk pertanyaan itu:

“Bukannya saya begitu pintarnya, saya hanya bertahan lebih lama menghadapi masalah.”

Sederhana bukan? Hanya aplikasinya yang tidak mudah. Benarlah pernyataan bahwa kita semua memiliki talenta yang setara. Tetapi hanya sedikit orang yang pada akhirnya bisa membuktikan bahwa Tuhan memberi mereka anugrah yang luar biasa. Anugrah Tuhan itu berupa bakat, dan tentunya semua yang berasal dari Tuhan selalu luar biasa. Mereka percaya dalam diri mereka terdapat potensi untuk menjadi luar biasa. Mereka lalu mempelajari hal-hal yang diperlukan untuk melakukan itu, bekerja keras dan gagal, introspeksi lalu mencoba lagi, demikianlah etos kerja mereka. Mereka sukses dan mendapatkan nama besar di dunia ini karena mereka pantas mendapatkannya setelah semua yang mereka lakukan. Dan Tuhan menjadikan mereka demikian sebagai permisalan bagi yang lainnya. Agar kita tahu bahwa untuk berhasil tidak cukup bersandarkan pada bakat, diperlukan kerja keras, ketekunan, serta kesabaran menjalani proses. Dari mereka juga kita belajar bahwa dunia ini memungkinkan kita mewujudkan impian-impian hebat kita.

Alangkah piciknya jika kita merasa minder dan kecil di hadapan orang-orang besar itu sebelum melakukan usaha semaksimal usaha mereka. Kita belum belajar setekun mereka, belum bekerja sekeras mereka, belum bertahan dengan masalah sekuat mereka, lalu mengklaim kesuksesan mereka karena modal lebih dari Tuhan? Seharusnya kita malu dengan potensi besar dalam diri kita sendiri, juga dengan perasaan kita sendiri yang tersiksa saat melihat pencapaian orang lain lebih baik. Rupanya, rasa malas membuat kita melakukan banyak dosa. Dzalim karena tidak memaksimalkan potensi diri, bohong terhadap diri sendiri karena menafikkan ego rasa jumawa, sombong karena tidak mau belajar dari permisalan yang sudah ada, dan yang perlu kita khawatirkan adalah kufur ni’mat, karena tak mensyukuri anugrah yang telah diberikan Allah. Ada lagi yang juga mengarah kepada kekufuran, dengan hanya berpangku tangan artinya kita tidak yakin dengan janji Tuhan bahwa Dia akan selalu menyertai dan membantu hamba-Nya. Astahgfirullahaladzim.

Tuhan sudah menjamin tidak akan memberikan hal yang tak bisa dikerjakan, masalah yang tak terselesaikan, rintangan yang tak bisa dilewati. Lantas, apa lagi yang menghalangi. Sungguh, penyebab stagnasi kita adalah kekerdilan jiwa kita sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar